kehormatan
dan harga diri manusia khususnya kehormatan wanita adalah suatu asas yang telah
diterima dalam agama Islam serta dalam seluruh aturan-aturan dan
hukum-hukumnya. Dan masalah hijab adalah merupakan salah satu dari perkara
tersebut. Al-Quran Karim telah menjelaskan berbagai topik hijab dalam berbagai
bentuk, gambaran, dan ibarat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, hijab
dipandang sebagai suatu kewajiban dalam agama islam dan apabila seseorang
mengingkarinya maka dia telah mengingkari satu hukum yang telah diwajibkan
dalam agama dan mengingkari kewajiban agama berarti terjerumus di dalam
kekafiran. Perlu diketahui bahwa tidak perlu semua aturan-aturan Islam itu
dibahas dalam Al-Quran, karena Al-Quran Al-Karim adalah sebuah aturan pokok
yang hanya memberikan pembahasan secara global dan masalah-masalah detailnya
diserahkan kepada mufassir Al-Quran, yakni Rasulullah SAW dan para awliya
di mana mereka mengambil sumber dari wahyu Tuhan, di sisi lain juga kebanyakan
hukum-hukum tidak dibahas secara detail dalam Al-Quran, akan tetapi dibahas
dengan terang dan jelas di dalam fiqih islam. Adapun masalah hijab terdapat
beberapa ayat yang dijelaskan dengan detail di dalam Al-Quran, oleh karena itu
sebagian orang yang tidak memiliki informasi tentang hijab, mereka menciptakan
suatu keraguan dan kesangsian di dalam pikiran wanita sehingga menanyakan “Memangnya
hijab juga terdapat dalam Al-Quran?” pertanyaan ini sampai kapanpun
tidak akan pernah tepat, sebab Al-Quran dengan jelas telah membahas topik
tentang hijab dan setiap orang yang mengakui dirinya muslim, maka dia tidak
boleh mengingkari masalah hijab dalam islam.
Sekarang kita tunjukkan sebagian dari ayat-ayat suci Al-Quran
mengenai hijab berikut ini: (Qullilmu’minaati yaghdhudhna min abshaarihinna
wa yahpadzna puruujahunna walaa yubdiina ziinatahunna illaa maa dzhara minhaa
walyadhribna bikhumurihinna ‘alaa juyuubihinna walaa yubdiina ziinatahunna
illaa libu’uulatihinna …) Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman,
agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka dan ….(QS. An-Nur :
31)
Ayat di atas adalah ayat pertama yang menjelaskan tentang
pandangan yang membangkitkan syahwat, dan lelaki serta perempuan dianjurkan
untuk menahan pandangannya, sebab pandangan yang tercemari oleh syahwat pada
lawan jenis merupakan langkah untuk melakukan dosa dan kerusakan karena itu
akar dosa ini harus disingkirkan. Dan telah di jelaskan pula dengan transparan
bahwa memandang aurat orang lain (lelaki, perempuan, muhrim dan non
muhrim) adalah dilarang. Topik lain yang perlu diperhatikan pada ayat ini
adalah kewajiban menutup leher, dada dan seputar anggota badan wanita yang
kebanyakan di jadikan pusat perhatian oleh lawan jenis, demikian juga dalam
ayat ini menunjukkan bahwa adanya larangan berhias dan berdandan untuk yang non
muhrim, kecuali apa yang telah nampak darinya, dan sambungan dari ayat
sebelumnya, dengan jelas telah melarang secara mutlak untuk tidak menunjukkan
dan mempertontonkan keindahan diri kepada yang non muhrim, dan kalimat itu
adalah; walaa yadhribna biarjulihinna …; yaitu Dan janganlah mereka
menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (seperti
khalkhal yang di pakai oleh wanita-wanita arab); bahkan badan sampai
pergelangan tangan dan juga kaki harus ditutup. Disamping itu ayat ini telah
menjelaskan tentang falsafah hijab dan kehormatan menahan pandangan yang di
antaranya adalah menghindari terjadinya kesalahan dan kerusakan.
Ayat ke dua yang membahas tentang kewajiban menutup tubuh adalah
ayat 59 surah Al-Ahzab yang berbunyi: ”Wahai Nabi! Katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,”Hendaklah
mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar
mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak di ganggu.”
Dalam kitab Lisânul Arabi di katakan: Jilbab, yaitu
lebih besar dari kerudung dan lebih kecil dari jubah, yang dengan wasilah ini
wanita menutupi kepala dan dadanya. Oleh karena itu kata “Jilbâb” dalam surah
Al-Ahzab di atas dan kata “Khumur” dalam surah An-Nur dengan jelas menekankan
mengenai kewajiban menutup tubuh bagi wanita terhadap non mahramnya. Biasanya
“Khumur” menunjukkan pada kewajiban menutup kepala dan dada serta leher dengan
sesuatu yang menyerupai kerudung, akan tetapi “Julbaab” adalah sebuah pakaian
yang lebih panjang dari kerudung di mana seluruh tubuh tertutupi olehnya; yaitu
sesuatu yang menyerupai jubah dan biasanya dipakai oleh wanita-wanita arab.
Hijab adalah wajib bagi semua wanita, dan wanita-wanita yang
bertalian dan bersangkutan dengan kepemimpinan umat harus lebih
berhati-hati, sebab mereka akan menjadi tokoh atau panutan terhadap
wanita-wanita lain. Dengan demikian baik dalam berbicara, berhadapan dan
bertemu dengan masyarakat serta aktivitas lainnya, menjaga hijab sangatlah
dianjurkan karena mereka dalam hal ini sangatlah peka dan sensitif. Dari sudut
pandang yang lain, kali ini Al-Quran menjadikan istri-istri Nabi sebagai acuan,
dan berkata: (Yaa nisaa’annabii lastunna kaahadin minannisaa’i
inittaqaitunna falaa takhdha’na bil qauli fayathma’a aladzi fi qalbihi maradhun
wa qulna qawlan ma’ruufan). “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti
perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk
(melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada
penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS.Al-Ahzab :
32)
Ayat di atas adalah menegaskan tentang bagaimana menghindari
terjadinya dosa dan fitnah dan wanita-wanita diharuskan memiliki batas di dalam
berbicara dengan yang non muhrimnya, sebagaimana di dalamnya tidak
terlihat berbagai bentuk godaan dan rangsangan sehingga dapat menimbulkan
fitnah. Demikan juga mengenai istri-istri Nabi saw dikatakan: (Wa qarna
buyuutikunna walaa tabarrajna tabarruja aljahiliyyati al uula). Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti
orang-orang jahiliah dahulu. (QS.Al-Ahzab : 33) Dan juga ayat 53 dalam
surah yang sama diketahui sebagai pelengkap tentang kebagaimanaan wanita-wanita
menjaga hijabnya dalam bersosialisasi dan mengatakan:( Wa idzaa
saaltumuhunna mataa’aan fas aluhunnna min waraai hijaabin dzalikum athharu
liquluubikum wa quluubihinna …. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. (QS. Al-Ahzab : 53)
Ketika kita mencermati muatan ayat tersebut di atas, maka
sangatlah jelas bahwa hijab adalah menghindari dari terjadinya dosa dan fitnah,
dan kesemuanya ini telah ditekankan pada hijab dan penutup tubuh wanita untuk
kebersihan dan keselamatan masyarakat. Masih terdapat banyak poin-poin tentang
hijab dari ayat yang lain dalam Al-Quran yang dikarenakan pembahasannya akan
dialihkan ke topik yang lain maka kami tidak memberikan penjelasannya.
Hijab dalam Hadis-Hadis dan Budaya Ahli Bait
Adapun Al-Quran yang merupakan Tsaql Akbar dan juga amanat
besar ilahi, menjelaskan bahwa penutup atau hijab wanita adalah merupakan satu
tugas dan tanggung jawab, dan juga di dalam hadis-hadis ahli bait yang dikenal
sebagai Tsaql Ashgar dan tafsir Quran menjelaskan tentang hijab. Efaf
atau penutup bagi wanita secara detail yang sebahagian dari hadis tersebut
dapat kita tunjukkan sebagai berikut: Imam Ali kw berkata dalam suratnya kepada
anaknya Sayyidina Hasan; wakfuf ‘alaihinna min absharihinna
bihijaabika iyyahunna fainna syiddata alhijaabi abqaa ‘alaihinna …
Wanita-wanita yang menutup wajahnya sehingga matanya tidak tertuju pada yang
non muhrim (dan mata non muhrim tidak tertuju kepadanya) di sebabkan
wanita-wanita yang ketat dalam berhijab akan lebih terjaga dari segala
gangguan, dan ketika mereka keluar rumah tidak lebih buruk dari orang-orang non
muhrim dan membawa orang lain yang tidak dapat di percaya kedalam rumahnya.(Bihar
al-Anwar, Jilid 100).
Imam Ali dalam perkataan nuraninya, di samping beliau menegaskan
tentang hijab, juga menjelaskan dengan aspek khusus filsafat dan penyebab dari
hijab tersebut yang juga melingkupi kekekalan, daya tahan dan pemeliharaan
wanita dalam sorotan hijabnya dan juga mengisyaratkan topik dan tema
penting yang lain yaitu tidak memasukkan orang-orang yang tidak dapat dipercaya
ke dalam rumah, dan juga tidak seharusnya teman-teman dan keluarga yang non
muhrim banyak lalu lalang atau bolak balik di dalam rumah, demikian pula wanita
terlarang baginya untuk lalu lalang di tengah masyarakat tanpa memakai
hijab.
Dalam hadis-hadis mengenai akhir zaman telah di ingatkan, di
antaranya tentang wanita-wanita yang berbuat dosa dan fitnah dan telah menjadi
cercaan adalah mereka yang hadir di tengah-tengah lelaki untuk menjual diri dan
tanpa memakai hijab.
Rasulullah SAW megabarkan bahwa azab bagi wanita-wanita yang
berhijab buruk adalah demikian: Shinfaani min ummatii min ahlinnaari lam
arahumaa … wa nisaa’an kaasiyaatun ‘aariyaatun…; Pada malam mikraj Saya
menyaksikan dua kelompok dari penghuni neraka yang sebelumnya saya tidak pernah
melihat serupa ini, dalam siksaan saya melihat, sejumlah wanita-wanita yang
memakai pakaian-pakaian tipis dan menampakkan tubuh (setengah telanjang) dengan
wajah-wajah yang tidak tertutupi, mereka ini tidak akan memasuki surga dan
tidak akan sampai kepadanya bau surga padahal bau wangi surga tersebut dapat
tercium keharumannya dalam jarak yang sangat jauh dan panjang.(Atsaar
as-Shadiqiin, Jilid 3)
Azab Bagi Yang Berhijab
Buruk
Imam Ali kw berkata: Saya menemui Rasulullah SAW, dan saya melihat
beliau dalam keadaan menangis, saya menanyakan penyebab beliau menangis.
Rasulullah SAW berkata: Dalam malam mikraj, saya melihat sejumlah wanita-wanita
dari umat saya sedang dalam azab yang sangat dahsyat. Salah satu dari
mereka seorang wanita yang rambut kepalanya digantung dan dia adalah wanita
yang tidak menutup rambutnya di depan non muhrim, demikian pula saya melihat
seorang wanita yang memakan daging dirinya sendiri dan dia adalah wanita yang
berhias dan mempercantik dirinya untuk orang lain. (Wasail, Jilid 14)
Wanita-Wanita di Akhir Zaman
Sangat disayangkan bahwa salah satu dari tanda-tanda akhir zaman
yang telah banyak di jelaskan dalam hadis-hadis adalah perihal keadaan
menyedihkan wanita-wanita berhijab buruk pada zaman itu. Wanita-wanita dalam
zaman itu, hadir di tengah-tengah masyarakat dalam suatu bentuk yang buruk,
memolekkan dan mempercantik dirinya bukan untuk suaminya, dan memakai
pakaian-pakaian yang setengah telanjang dan menampakkan tubuhnya.
Rasulullah SAW berkata: Halaaku nisaai ummatii filahmaraini
adzdszahabu watstsayaaburriqaaqi. Terdapat dua penyebab yang menghancurkan umat
saya, yang pertama adalah emas (perhiasan-perhiasan) dan yang ke dua adalah
pakaian-pakaian tipis dan menampakkan tubuh. (Arsyaadu al-Quluub, Jilid 1).
Berdasarkan inilah membuat wanita-wanita berhijab buruk dan bahkan lebih buruk
lagi dari mereka yang tidak berhijab, hal ini mengisyaratkan tentang kebenaran-kebenaran
dari kerusakan dan kebinasaan yang merupakan tanda-tanda akhir zaman dan juga
kita lihat bahwa ketidakmaluan para wanita yang mempermainkan seorang lelaki,
hal inilah yang menjadi sumber kekhawatiran Rasul Akram SAW dan sangat disayangkan
bahwa sebagian dari wanita-wanita muslim yang terjun dan aktif ke dalam
masyarakat, mereka selangkah lebih maju dari wanita-wanita barat dengan wajah
yang dihias kental dan tebal serta berpakaian ringan dan sembrono, padahal
mereka ini lebih merusak dan membinasakan dari pada wanita-wanita barat yang
non hijab, dan hal ini adalah masalah yang sangat besar. Seorang wanita yang
menyatakan dirinya muslim seharusnya dia tidak menodai dan menyakiti hati
Rasulullah SAW dan jantung Imam ‘Ashr. Apakah memang tidak boleh seorang wanita
muslim meneladani dan menokohkan Sayyidah Zahra dan Sayyidah Zaenab? Apakah
dahulu beliau-beliau ini hijab dan pakainnya adalah demikian? Sayyidah Zaenab
kubra dalam majelis Yazid di samping beliau menyatakan protesnya terhadap Yazid,
beliau juga mengisyaratkan masalah hijab dan beliau berkata pada Yazid:
Bagaimana prinsip kamu terhadap tirai kesucian sehingga kamu dapat terjaga dan
terpelihara dari para non muhrim dan bagaimana pula prinsip kamu mengarak
para keluarga Rasulullah SAW dari kota ke kota sehingga setiap non muhrim
menengok ke arah wajah-wajah mereka?
Aminal’adli yabnaththulaqaa’a takhdiruka haraairaka wa imaaaka wa
sawquka banaati rasulillahi saw sabaayaa qad hatakta sutuurahunna wa abdaita
wujuuhahunna, Wahai Yazid! Apakah ini berarti adil bahwa para wanita dan para
kanizmu kamu tunjukkan dibalik tirai sementara putri-putri Rasulullah SAW kamu
arak ke berbagai kota dan kamu jadikan mereka tawanan dan tirai hijab mereka
kamu koyak, melepaskan cadar-cadar mereka dari wajahnya?!(Hayaatu al-Imam Husain, Khotbah
Hadhrat Zaenab di Syam)
Penegasan Rasulullah SAW Tentang Hijab
Rasulullah SAW selain menyarankan secara tegas terhadap pentingnya
menghindari berhijab buruk, beliau juga memperhatikan dalam tingkatan
amal, Ummu Salamah salah satu dari istri-istri Rasulullah SAW mengatakan: Saya
dan Maemunah istri yang lain dari Rasulullah SAW setelah sampai kepada kami
tentang perintah berhijab, kami menemui Rasulullah SAW yang ketika itu pula
anak dari Ummu Maktum (yang matanya buta) memasuki ruangan kami, Rasulullah SAW
berkata: Ihtajibaa; tutuplah diri-diri kalian. Saya mengatakan: Wahai
Rasulullah! Dia adalah buta (dia tidak akan melihat kami). Beliau berkata: Afa’umyaa
wa in antuma? Apakah kalian juga buta (dan kalian tidak melihat dia)? Jadi
telah jelas bahwa menjaga hijab dan tidak melihat, tidak terbatas dan terkhusus
pada lelaki saja bahkan wanita juga harus menjaga mata dan tubuhnya di hadapan
lelaki. (Diterjemahkan oleh Ummu Jausyan….,Bersambung)